Beberapa saat setelah melahirkan Manusaka, saya langsung bilang ke ibu saya, “Pantes ya Bu, anak yang berani sama ibunya itu durhaka.”
Kelahiran Manusaka udah saya
tunggu-tunggu sejak usia kehamilan 38 minggu. Tapi emang anak bayi mencari
waktu lahirnya sendiri ya, jadi sampai usia kehamilan 38 mendekati 40 minggu
belum ada tanda-tanda sama sekali dia mau ketemu ibu bapaknya. Saya jadi agak
takut apa saya yang nggak menyadari rasa kontraksi atau nggak tahu jangan-jangan
ketuban udah rembes. Untungnya pas kontrol ke DSOG di usia kehamilan 39 minggu
semuanya masih sehat dan normal.
Cita-cita saya tentu saja
melahirkan secara normal. Kembali ke kodrat wanita lah, kalau nggak ada sesuatu
yang kurang normal saya yakin bisa. Saya belajar napas perut yang katanya bisa
bantu melancarkan proses melahirkan, sampai nggak henti-henti yoga untuk buka
panggul. Harapannya sih sesuai afirmasi yang saya tulis (melahirkan nyaman,
normal, prosesnya cepat, dll).
Hari itu Sabtu 20 Oktober 2018,
usia kehamilan saya 39 minggu 5 hari, seperti biasa kalau weekend saya pasti ditemani suami jalan-jalan sambil olahraga. Nggak
ada yang aneh, semua masih seperti biasa. Kalau ngerasa tulang kemaluan
disundul-sundul kan wajar karena kehamilan sudah cukup bulan, lagian saya
merasakan itu udah dua minggu terakhir.
Pas tidur keanehanpun terjadi.
Perut saya kram seperti waktu menstruasi. Dalam hati, “ini kali ya yang namanya
kontraksi.” Kram yang saya rasakan memang berpola, hilang muncul dalam waktu
1-2 menitan. Sambil menahan kontraksi saya berusaha tidur. Nggak bisa! Wah, saya
langsung hitung jarak kontraksi dengan aplikasi Kontraksi Nyaman Bidan Kita dan langsung ada notifikasi untuk segera menemui provider.
Seperti inilah hasilnya.
Semalaman itu saya benar-benar nggak bisa tidur. Antara nahan kram atau excited mau ketemu anak bayi. Sampai akhirnya jam tiga pagi saya kebelet buang air kecil dan melihat ada flek darah. Yay, sebentar lagi ketemu Manu!
Semalaman itu saya benar-benar nggak bisa tidur. Antara nahan kram atau excited mau ketemu anak bayi. Sampai akhirnya jam tiga pagi saya kebelet buang air kecil dan melihat ada flek darah. Yay, sebentar lagi ketemu Manu!
Meskipun degdegan dan ibu mertua
udah mulai panik, saya menunggu dulu sebelum ke provider. Karena udah dapet
ilmu waktu sesi yoga di ProV Clinic, saya mandi dulu (sambil nahan kontraksi),
sarapan dulu, dan bedakan dulu.
Ketuban saya nggak rembes, jadi saya
putuskan untuk melahirkan di bidan aja. Jam 7.30 saya sampai di bidan dan di VT
ternyata udah bukaan 4. Senang bukan main! Saya berusaha jalan-jalan tapi
ternyata kalau kontraksi lebih enak dibawa main birthing ball. Jam 10.30 di VT
lagi udah langsung maju ke bukaan 8. Bidan provider saya ini sayangnya nggak
sabar buat menggunting selaput ketuban saya yang ternyata masih tebal. Jam
11-an (entahlah saya udah mulai nggak fokus saking sakitnya ini kontraksi)
masuk bukaan 10 saya mulai merasa ada yang mendorong-dorong dari dalam. Susah
banget ngeden pakai teori pernapasan perut! Saya pasrah aja pas digunting
perineum. Setelah 3 kali ngeden akhirnya Manusaka lahir. Begitu lahir, rasa
sakit saya yang luar biasa tadinya itu langsung hilang gitu aja. Bener-bener
magical moment! Beberapa saat setelah melahirkan Manusaka, saya langsung bilang ke ibu saya, “Pantes ya Bu, anak yang berani sama ibunya itu durhaka.”
Manusaka lahir 21 Oktober 2018
pukul 11.58. Kami memberi dia nama Gede Manusaka Abirama, Gede (anak pertama)
Manusaka (berkesinambungan) Abirama (pembawa kebahagiaan). Semoga Manusaka
menjadi anak yang selalu memberi kebahagiaan bagi keluarga dan sekitarnya.