HOME      ABOUT      CONTACT      INSTAGRAM

Monday, March 11, 2019

Kelahiran Manusaka

 
Beberapa saat setelah melahirkan Manusaka, saya langsung bilang ke ibu saya, “Pantes ya Bu, anak yang berani sama ibunya itu durhaka.”

Kelahiran Manusaka udah saya tunggu-tunggu sejak usia kehamilan 38 minggu. Tapi emang anak bayi mencari waktu lahirnya sendiri ya, jadi sampai usia kehamilan 38 mendekati 40 minggu belum ada tanda-tanda sama sekali dia mau ketemu ibu bapaknya. Saya jadi agak takut apa saya yang nggak menyadari rasa kontraksi atau nggak tahu jangan-jangan ketuban udah rembes. Untungnya pas kontrol ke DSOG di usia kehamilan 39 minggu semuanya masih sehat dan normal.

Cita-cita saya tentu saja melahirkan secara normal. Kembali ke kodrat wanita lah, kalau nggak ada sesuatu yang kurang normal saya yakin bisa. Saya belajar napas perut yang katanya bisa bantu melancarkan proses melahirkan, sampai nggak henti-henti yoga untuk buka panggul. Harapannya sih sesuai afirmasi yang saya tulis (melahirkan nyaman, normal, prosesnya cepat, dll).

Hari itu Sabtu 20 Oktober 2018, usia kehamilan saya 39 minggu 5 hari, seperti biasa kalau weekend saya pasti ditemani suami jalan-jalan sambil olahraga. Nggak ada yang aneh, semua masih seperti biasa. Kalau ngerasa tulang kemaluan disundul-sundul kan wajar karena kehamilan sudah cukup bulan, lagian saya merasakan itu udah dua minggu terakhir.

Pas tidur keanehanpun terjadi. Perut saya kram seperti waktu menstruasi. Dalam hati, “ini kali ya yang namanya kontraksi.” Kram yang saya rasakan memang berpola, hilang muncul dalam waktu 1-2 menitan. Sambil menahan kontraksi saya berusaha tidur. Nggak bisa! Wah, saya langsung hitung jarak kontraksi dengan aplikasi Kontraksi Nyaman Bidan Kita dan langsung ada notifikasi untuk segera menemui provider. Seperti inilah hasilnya.


Semalaman itu saya benar-benar nggak bisa tidur. Antara nahan kram atau excited mau ketemu anak bayi. Sampai akhirnya jam tiga pagi saya kebelet buang air kecil dan melihat ada flek darah. Yay, sebentar lagi ketemu Manu!

Meskipun degdegan dan ibu mertua udah mulai panik, saya menunggu dulu sebelum ke provider. Karena udah dapet ilmu waktu sesi yoga di ProV Clinic, saya mandi dulu (sambil nahan kontraksi), sarapan dulu, dan bedakan dulu.

Ketuban saya nggak rembes, jadi saya putuskan untuk melahirkan di bidan aja. Jam 7.30 saya sampai di bidan dan di VT ternyata udah bukaan 4. Senang bukan main! Saya berusaha jalan-jalan tapi ternyata kalau kontraksi lebih enak dibawa main birthing ball. Jam 10.30 di VT lagi udah langsung maju ke bukaan 8. Bidan provider saya ini sayangnya nggak sabar buat menggunting selaput ketuban saya yang ternyata masih tebal. Jam 11-an (entahlah saya udah mulai nggak fokus saking sakitnya ini kontraksi) masuk bukaan 10 saya mulai merasa ada yang mendorong-dorong dari dalam. Susah banget ngeden pakai teori pernapasan perut! Saya pasrah aja pas digunting perineum. Setelah 3 kali ngeden akhirnya Manusaka lahir. Begitu lahir, rasa sakit saya yang luar biasa tadinya itu langsung hilang gitu aja. Bener-bener magical moment! Beberapa saat setelah melahirkan Manusaka, saya langsung bilang ke ibu saya, “Pantes ya Bu, anak yang berani sama ibunya itu durhaka.”

Manusaka lahir 21 Oktober 2018 pukul 11.58. Kami memberi dia nama Gede Manusaka Abirama, Gede (anak pertama) Manusaka (berkesinambungan) Abirama (pembawa kebahagiaan). Semoga Manusaka menjadi anak yang selalu memberi kebahagiaan bagi keluarga dan sekitarnya.


Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Friday, October 19, 2018

How Many Outfits Do I Need in My Wardrobe?


Terinspirasi dari (lagi-lagi) postingan blog Kak Andra Alodita, saya tertarik ingin mencoba meminimalisasi jumlah pakaian dan aksesoris yang saya punya. Meskipun sejujurnya saya nggak punya terlalu banyak pakaian dan aksesoris (entah pembenaran atau emang iya) karena sudah sering men-“declutter” pakaian-pakaian saya.

Alasan utama saya ingin “mengkompres” lagi jumlah pakaian saya adalah karena merasakan susah dan ribetnya menggotong pakaian kesana kemari pas pindahan. Karena masih hidup nomaden dan belum tinggal di homebase yang tetap, hampir setiap 2 tahun sekali saya pasti berpindah tempat tinggal. Pas packing nyesek banget, selalu keteteran dan barang pribadi terutama pakaian membludak. Padahal sudah banyak yang saya hibahkan/buang. Sampai pas pindahan terakhir karena mau cuti lahiran suami saya protes dan menyarankan untuk meminimalisasi (lagi) jumlah pakaian.

Saya itu bisa dibilang jarang belanja baju, apalagi aksesoris. Tapi sekalinya nafsu belanja, langsung banyak dan bertubi-tubi. Apalagi pas musim-musim sale, semua toko disamperin. Sekarang sih sudah agak pintar, pas sale cuma membeli barang yang memang sudah diincar sejak masih jadi new arrival. Tapi tetap saja printilan-printilan barang lain masih banyak yang ikut kebeli. “Mumpung lagi sale”. Duh! bahaya banget deh! Adakah yang senasib dengan saya?

Sebenarnya, mau punya banyak (maximalist) atau sedikit barang (minimalist) sih bebas saja yang penting bertanggung jawab dan bisa mengelola barang-barangnya dengan baik. Kalau saya pribadi lebih tertarik menerapkan gaya minimalist. Teorinya, dengan memiliki sedikit barang (terutama pakaian), hidup kita akan jauh lebih mudah. Nah, menurut artikel yang saya kutip dari Becoming Minimalist, memiliki sedikit pakaian akan membuat kita:

·       Memiliki lebih banyak sisa penghasilan (!)
·       Memiliki lebih banyak waktu untuk hal lain dalam hidup
·       Nggak stress pagi-pagi mikirin mau pakai baju apa
·       Punya well-organized closet
·       Packing jadi lebih simpel saat bepergian, dan
·       Pekerjaan laundry jadi lebih simple

Nah, ini beberapa tips yang saya rangkum dari website yang sama, dengan penyesuaian seperlunya:

1.     Sadarlah kalau pakaianmu itu sudah banyak.
Ini nih yang sulit bagi para wanita di muka bumi ini. Selalu merasa nggak punya baju. Padahal baju di lemari sudah sampai tumpah-tumpah.

2.     Berusaha memahami karakter kepribadian.
Hubungannya apa? Berdasarkan pengalaman saya, memakai pakaian yang cocok dengan kepribadian kita akan sangat membantu. Kalau saya kebetulan sudah pernah melakukan test kepribadian yang mengarahkan saya untuk memakai pakaian berwarna netral dan kasual. Nggak neko-neko deh. Pantesan setiap saya ingin mencoba nyentrik dengan tabrak warna / print ujung-ujungnya fashion disaster. Akhirnya ini sangat membantu saya dalam memilih pakaian yang akan saya beli. Dan beneran kok, selain lebih nyaman, ternyata memilih pakaian sesuai kepribadian juga bisa lebih menonjolkan karakter diri. Semacam make your own statement style! 

3.     Donate, sell, discard.
Kalau pakaian sudah tidak dipakai dalam jangka waktu 6 bulan terakhir, saatnya kita berpikir. Masih happykah kita saat memakainya?(simpan). Masih bagus dan layak banget nih, tapi kayaknya nggak akan dipakai lagi (donasikan/jual preloved). Sudah bernoda atau rusak dan malas banget lihatnya (buang). 

4.     Belilah kualitas, bukan kuantitas.
Belilah baju yang benar-benar kita suka dan cocok dengan kita, bukan karena ikut-ikutan trend atau karena lagi sale. Belilah 1 item walaupun mahal daripada 10 items di sale rack yang pada akhirnya akan jadi sampah dan penyesalan belaka. Tips yang ini paling sulit deh, gampang secara teori tapi praktiknya susah banget!

Setelah baca-baca tips dan referensi berapa banyak pakaian yang dikatakan cukup untuk saya miliki, saatnya bikin list!

How Many Outfits do I “REALLY” need in My Wardrobe?




Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Thursday, October 4, 2018

Counting Days : The Third Trimester


Nggak kerasa udah masuk trimester ketiga aja! Makin excited dan deg-degan mau ketemu adik bayi. Saking menyenangkannya trimester kedua, saya nggak sadar dalam hitungan bulan saya akan menjadi seorang ibu. Syukurlah kehamilan saya hingga trimester ketiga ini sehat dan nyaman.
Trimester ketiga dipenuhi dengan persiapan-persiapan mulai dari belanja kebutuhan bayi (yang tidak ada habisnya), olahraga yang makin kenceng, memilih tempat bersalin, dan mengelola emosi biar nggak khawatir dan ketakutan.

1.     Belanja kebutuhan bayi
Mempersiapkan kebutuhan bayi memang sangat tricky. Apalagi untuk saya yang adalah anak dan menantu pertama yang nggak mungkin dapet hibahan dari kakak atau ipar. Meskipun udah buat list belanja, tetap saja lapar mata. Karena anak pertama, semua barang-barang yang pernah direview Instagram mommy ingin saya beli. Tapi biar nggak kalap-kalap banget, saya rajin-rajin tanya teman yang sudah lebih dulu jadi ibu.
2.     Olahraga
Kalau ini nggak usah ditanya ya. Hampir semua artikel kehamilan menyarankan ibu hamil untuk rajin berolahraga. Masuk trimester ketiga saya tetap meneruskan renang dan prenatal yoga di Pro V Clinic. Karena nggak selalu dapat jadwal yoga pas weekend  (iya, cari jadwal yoga di Pro V pas hari Sabtu itu susah banget!), saya rajin mencatat tips-tips yoga yang diberikan oleh Mbak Mila dan Mbak Ochan. Selain itu, saya mulai rajin praktik yoga sendiri setiap pagi (beneran tiap hari) dipandu video gerakan yoga dari Bidan Kita. Syukurlah karena lumayan rajin olahraga, kehamilan saya nggak berat, minim sakit punggung, dan saya nggak pernah mengalami sulit tidur.
3.     Memilih tempat bersalin
Karena memutuskan untuk melahirkan dekat dengan keluarga (di Bali), jadi saya harus melakukan survey ulang atas tempat bersalin yang support melahirkan dengan nyaman dan alami. Awalnya sih kepikiran mau di Klinik Bumi Sehat Ubud, tapi berhubung keluarga tinggal di Singaraja, saya harus cari alternatif lain. Tapi tetep ya, saya pengennya di klinik bersalin saja. Mudah-mudahan semuanya berjalan lancar sehingga saya nggak perlu menjalankan plan B. Doakan!
4.     Mengelola emosi
Ini nih yang gampang-gampang susah. Gimana sih rasanya mau melahirkan seorang manusia baru ke dunia? Excited, takut, cemas, happy, dan ragu-ragu bercampur jadi satu. Saya harus rajin-rajin afirmasi dan meditasi biar tetep waras. Gimana coba membayangkan dan menyiapkan diri untuk sesuatu yang benar-benat nggak tahu rasanya. Sampai saat ini saya masih terus berupaya untuk banyak membaca, belajar, dan mencari referensi mengenai kelahiran yang nyaman. Yakin semua bisa dipersiapkan asal kita mau belajar dan berusaha.


Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+