HOME      ABOUT      CONTACT      INSTAGRAM

Monday, August 8, 2016

Left My Heart in Kyoto #GianinJapan Travel Diary Part 2


Hari ini (1/7/2016) saya bangun di apartemen sewaan via Air BnB lumayan siang setelah tidur beralaskan futon (tempat tidur Jepang yang bisa dilipat) untuk pertama kalinya. Padahal kedua travelmates saya pagi-pagi udah longrun ke Arashiyama park.

Prioritas kami hari ini adalah mengisi kulkas dengan stock makanan sehat. Jadi kami wisata supermarket dulu ke Daiso dan pulang-pulang membawa ini...


Belanjaan kami untuk kira-kira dua hari ini sama harganya dengan bill makan ramen semalam. See? Tips dari saya kalau mau tinggal lumayan lama di Jepang, mendingan masak. Ya nggak tiap hari juga, kalau bosan bisa diselingi jajan di luar. Mengingat harga bahan makanan di sini (Kyoto) lumayan murah. Ada yang bahkan lebih murah dari supermarket di Indonesia. Cari bumbu masak di sini juga gampang kok, di setiap supermarket pasti tersedia lengkap bumbu baik yang masih mentah (bawang putih, bawang bombay) maupun yang dalam kemasan (merica bubuk, bawang putih bubuk, perasa).

Arashiyama, tempat apartemen kami berada, adalah salah satu daerah yang berada di Kyoto. Dalam trip ini, target kami paling tidak bisa mengunjungi dan mengenal Osaka dan Kyoto. Dan Kyoto menurut saya adalah daerah yang sangat menyenangkan.
Apartemen kami dekat dengan stasiun dan halte bus, kalau ke halte bus cukup dua menit berjalan kaki ala Jepang. Dari halte terdekat (Umezunishiuracho St.) ke downtown (kawasan perbelanjaan dan tourist spot di Kyoto, yaitu di Shijo Kawaramachi) kami tinggal naik bus nomor 3 sekitar 15-20 menit.


Kyoto nggak seramai Osaka, dan daerah ini budaya Jepangnya masih terasa kental. Hampir di setiap sudut wilayah dan dalam jarak yang berdekatan kita bisa melihat temples  dan shrines. Temple adalah istilah yang digunakan untuk kuil agama Budha, sementara shrine adalah istilah untuk kuil agama Shinto.
Nah, selama beberapa hari dari tanggal 1 sampai 4 Juli, kami berencana menghabiskan waktu di Kyoto untuk “living like locals” dan mengunjungi beberapa temples maupun shrines yang iconic di Kyoto. Selain itu, kami juga akan mengunjungi tempat-tempat “wajib” lainnya di Kyoto.
Dan berikut ini tempat-tempat yang berhasil kami kunjungi.

Kiyomizudera Temple



Dari Shijo Kawaramachi, kami ganti bus sekali menuju halte Kiyomizudera. Kami sampai sana udah lumayan siang karena kami memutuskan masak makan siang dulu di apartemen. Setelah dua hari gloomy akhirnya musim panas mulai terasa. Hari itu cerah dan lumayan panas. Dari halte kami berjalan sekitar 15 menit menuju Kiyomizudera.
Kiyomizudera Temple letaknya di atas bukit, didesain sedemikian rupa sehingga terlihat melayang. Lumayan susah mengambil foto yang oke karena teknik fotografi saya yang seadanya dan lewat tengah hari posisi matahari sudah nggak bersahabat (untuk ambil foto kuilnya backlight parah). Ternyata di sekeliling kuil ini ada banyak kuil-kuil Shinto. Ada satu kuil yang banyak didatangi untuk memohon jodoh/kelancaran kehidupan percintaan. Tenang, udah saya doakan kok!
Saya juga sempat mencoba berdoa sambil mengelilingi bawah tanah kuil, yang awalnya saya pikir horor. Kami sampai coba dua kali sambil mencoba menghitung pegangan yang seperti genitri apa jumlahnya 108.


Di Kiyomizudera banyak wisatawan yang menyewa yukata untuk bisa merasakan pengalaman layaknya orang lokal. Orang Jepang memang biasanya memakai yukata jika melakukan doa di kuil. Saya pengen sih, tapi jadi mikir-mikir lagi setelah tahu harganya 3000 yen. Hahaha benar-benar tourist kere yang perhitungan ya!

Fushimi Inari Taisha



Hari kedua di Kyoto (2/7/2016) kami berencana ke Fushimi Inari Taisha. Masih menggunakan bus, kami naik bus arah Stasiun Kyoto (Kyoto St. kalau nggak salah nomor 26) kemudian ganti bus ke arah Fushimi Inari. Fushimi Inari Taisha adalah kuil Shinto yang terkenal dengan gerbang-gerbangnya. Kalau ada foto travelling Kyoto menampakkan gerbang merah yang tersusun dengan rapi dan cantik, nah itu dia Fushimi Inari Taisha. Gerbang kuil atau disebut dengan “tori” di Fushimi Inari Taisha jumlahnya ribuan, yang ada di sepanjang jalan menuju ke Gunung Inari, tempat kuil ini berada.


Gunung Inari memang nggak terlalu tinggi, hanya 233 meter di atas permukaan laut, tapi lumayan berasa juga waktu kami hiking sampai puncak.
Oh ya, waktu mengamati tori-tori di sini, saya penasaran apa sih yang ditulis di tiap-tiap tori? Ternyata, itu adalah nama dari penyumbang pembangunan tori tersebut.
Di sini wisatawan lebih sedikit dibandingkan dengan Kiyomizudera, saya lihat banyak orang lokal berdoa menggunakan yukata since that day was Sunday. Soooo beautiful!

bersambung ke part 3


Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

No comments:

Post a Comment